Rabu, 22 Desember 2010

13 Sifat Bisnisman Yang Tidak Disukai Mitra

Oleh: DR. Amir Faishol Fath



dakwatuna.com - Tidak ada bisniman yang ingin rugi. Semua bisnisman berjuang untuk mencapai keuntungan. Tetapi ingat bahwa keuntungan yang harus dicapai harus melalui cara-cara yang baik. Bukan dengan cara-cara yang kejam dan menghancurkan kemanusiaan. Allah swt. Sang Pencipta sangat menjaga kelestarian ciptaan-Nya. Dan untuk itu Allah swt. menurunkan tuntunan hidup yang baik bagi manusia termasuk tuntunan dalam wilayah bisnis. Manusialah memang yang mendapatkan mandat untuk mengurus kehidupan di muka bumi

Khusus mengenai bisnis, ada minimal tiga belas sifat yang harus dihindari seorang bisnisman dalam menjalankan roda usahanya. Trutama sifat yang berkaitan langsung dengan mitra. Sebab bagaimanapun sukses seorang bisnisman sangat tergantung kepada kesetiaan mitranya. Bila diteliti secara mendalam semua sifat tersebut sangat tidak disukai oleh mitra, lebih dari itu sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pertama, Pembohong

Sikap bohong bukan ciri seorang beriman. Rasulullah saw. ketika ditanya apakah ada seorang yang beriman berbohong, kata Nabi tidak ada. Ini menunjukkan bahwa tindakan berbohong adalah bertentangan dengan keimanan. Dengan kata lain tidak terbayang seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan yakin bahwa Allah mengetahui segala perbuatannya, ia berbohong. Dengan demikian ketika seseorang berbohong dalam transaksi bisnisnya berarti ia di saat yang sama telah melepaskan keimanannya kepada Allah swt.

Lebih jauh, bahwa tidak ada manusia di dunia yang ingin dibohongi. Dengan demikian tindak kebohongan adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Karena itu tidak seorang istri yang merasa aman di samping seorang suami pembohong. Tidak ada seorang anak yang merasa aman di tengah orang tua pembohong. Begitu juga tidak ada seorang pembeli yang merasa aman bertransaksi dengan seorang pembohong. Maka seorang pedagang berbohong ia telah merusak harga dirinya, lebih dari itu ia merusak masa depan bisnisnya sendiri.

Boleh jadi seorang beruntung sejenak dalam bisnisnya ketika membohongi orang. Tetapi setelah itu seumur hidup tidak akan ada orang yang percaya kepadanya. Maka dengan melakukan kebohongan dalam berbisnis, seseorang telah mengorbankan kelanjutan perniagaannya hanya demi keuntungan sesaat. Itulah mengapa Allah dan Rasul-Nya sangat benci terhadap perbuatan bohong.

Kedua, Penipu

Seorang penipu cenderung menyembunyikan aib atau cacat barang dagangannya kepada para pembeli. Jika itu berupa makanan yang sudah expired, diam-diam ia mengubah tanggalnya. Tidak peduli apakah makanan itu bakal menimbulkan bahaya bagi pembeli, yang penting ia untung. Jika barang dagangan itu berupa barang, ia tidak memberitahukan kerusakan yang ada di dalamnya. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa barang itu masih baik. Banyak orang yang menjual kendaraan misalnya yang pernah tertabrak, lalu disembunyikan bekas tabrakannya. Bahkan ia memberitahukan kepada orang lain bahwa kendaraan itu masih asli, tanpa sedikitpun cacat. Tidak sedikit orang yang tertipu karenanya. Tidak sedikit orang yang merasa dirugikan karena tindakan semacam ini.

Siapapun tidak mau ditipu. Rasulullah saw. pernah menegur seorang penjual di pasar yang melakukan penipuan. Allah swt. memgancam orang-orang yang menipu dalam timbangan. Allah berfirman: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifiin:1-3). Kata al muthaffifiin (orang-orang yang curang)di ambil dari kata thaffafa artinya mengambil sedikit. Ini menunjukkan bahwa segala bentuk penipuan sekalipun sedikit, ancamannya neraka. Allah swt. tidak ingin manusia main-main dalam hal ini. Sebab bagaimanapun ini menyangkut hak manusia, yang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Bila ia tidak dipenuhi di dunia Allah tidak akan mengampuni sampai hak itu diberikan.

Rasulullah saw. pernah menceritakan contoh manusia yang bangkrut (al muflis), bahwa itu bukan orang yang tidak punya uang dan harta, melainkan dialah orang yang datang di hari Kiamat dengan pahala shalat dan puasanya, sementara ia selama di dunia sering bertindak dzalim dengan menipu dan mengambil hak orang lain, lalu dipanggillah kelak orang-orang yang didzalimi itu, untuk menangih. Karena ia tidak punya, maka diambillah pahala shalat dan puasanya sampai habis. Perhatikan betapa besar ancaman bagi para penipu dalam dagangannya. Ia pasti tidak akan berkah hidupnya di dunia karena tidak ada orang yang mempercayainya dan rugi di akhirat karena Allah swt. melaknatnya.

Ketiga, Pelaku riba

Allah swt. berfirman: wa ahallallhul bay’a wa harramar ribaa (Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba) (QS. Al Baqarah: 275). Ayat ini menggambarkan bahwa sistem riba sering kali digunakan sebagai perdagangan, padahal itu bukan jalan untuk memperoleh penghasilan. Di dalam Islam masalah hutang piutang tidak termasuk bab bisnis melainkan bab tolong menolong. Karena itu tidak dibenarkan secara syariat mencari penghasilan dalam pinjam meminjam. Para pelaku riba dalam bisnis telah mencekik banyak orang yang membutuhkan bantuan. Allah swt. tidak ingin mereka yang lemah semakin tertindas karena sistem riba. Itulah rahasianya mengapa dengan tegas Allah swt. mengharamkan riba. Bahkan para pelaku riba dianggap oleh Allah swt. sebagai orang-orang yang dengan terang-terangan mengajak perang dengan-Nya. (lihat QS. Al Baqarah 279).

Dengan ini jelas bahaya riba dalam hidup manusia. Bahwa Allah swt. tidak ingin manusia menjadi hamba harta. Riba telah membuat banyak orang menjadi dzalim. Perhatikan, ketika seseorang pinjam uang ke bank untuk modal bisnis dengan jalan riba, tidak bisa tidak ia harus menaikkan harga dagangannya untuk bisa menutupi bunga yang harus ia bayar. Maka dengan menaikkan harga, banyak orang yang berekonomi lemah terjepit. Hancurnya ekonomi dunia saat ini seperti yang kita saksikan adalah karena terlalu merebaknya sistem riba. Akibatnya kemanusiaan harus menjadi korban. Kejahatan terjadi di mana-mana. Orang-orang semakin jauh dari Allah swt., karena yang dikonsumsi setiap hari barang haram dari hasil riba. Bila ini yang terjadi, Allah swt. pasti akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Bila sebuah negeri tidak ada keberkahannya, manusia pasti akan terus menerus dilanda malapetaka.

Allah swt. tidak ingin manusia menderita, berpecah belah, saling bermusuhan dan saling menghancurkan. Karenanya segala bentuk kedzaliman dalam segala dimensinya Allahswt. haramkan. Termasuk kedzaliman dalam dunia bisnis, seperti sistem riba yang hanya memenangkan para pemilik modal dan menghancurkan ekonomi lemah.

Keempat, Mempersulit Mitra

Di halalkannya jual beli bukan untuk saling mempersulit melainkan untuk saling meringankan. Saya sering menemukan seorang pedagang yang tidak segera melayani pembeli. Akibatnya banyak waktu terbuang di depan toko hanya karena menunggu layanan, padahal seandainya segera dilayani ia bisa menyelesaikan pekerjaan lainnya. Perhatikan betapa pedagang yang tidak bersungguh-sungguh melayani pembeli telah merugikan waktu mereka. Mungkin di antara mereka ada yang anaknya atau istrinya sakit. Atau mungkin ia harus segera berangkat dalam perjalanan jauh dan lain sebagainya. Yang jelas bersikap abai terhadap pembeli bukan hanya merugikan orang lain, malainkan ia juga tindakan yang sangat tidak disukai.

Kepada seorang tamu saja, Rasulullah saw. mengajarkan agar kita selalu menghormatinya. Bahwa kata Nabi: “Tidak sempurna iman seseorang yang tidak menghormati tamu.” Apa lagi melayani seorang pembeli dengan sungguh-sungguh, itu tidak saja menghormati orang lain seperti menghormati seorang tamu, melainkan lebih dari itu ia akan memperoleh keuntungan duniawi. Banyak orang yang tidak mau berbelanja di sebuah toko karena jeleknya pelayanannya. Dan banyak orang yang suka berbelanja di sebuah toko karena servisnya yang baik dan memuaskan. Sebuah tempat penyucian mobil dengan ruang tunggu berAC jauh lebih disukai orang dari pada tempat lainnya yang tanpa ruang tunggu. Di antara pilar bisnis profesional yang diajarkan Rasulullah saw. adalah bagaimana membuat para pembeli nyaman, senang dan merasa aman.

Sampai-sampai dikatakan dalam sebuah pepatah bisnis “pembeli adalah raja” ini maksudnya adalah bahwa pembeli harus dilayani dengan sungguh-sungguh. Bahwa pembeli harus benar-benar dibikin nyaman dan senang. Bahwa pembeli benar-benar disambut dengan wajah ceria dan senyum yang indah. Bukan malah dipersulit apalagi disakiti atau ditipu. Sungguh sutau tindakan yang merugikan bila seorang pedagang bertindak cuek dan acuh terhadap pelangganya.

Kelima, Tidak Menepati Janji

Sekali seorang pedagang tidak menepati janji, para pembeli akan lari darinya. Karenanya jangan mudah berjanji jika tidak bisa memenuhinya. Islam mengajarkan bahwa janji harus dipenuhi. Rasulullah saw. pernah berjanji dengan salah seorang sahabatnya untuk bertemu di sebuah tempat. Tiba-tiba orang tersebut lupa. Setelah tiga hari ia baru ingat. Ia segera mendatangi tempat tersebut. Ternyata di sana ia masih melihat Nabi menunggu. Nabi menegurnya: Ada di mana engkau selama ini wahai laki-laki. Perhatikan betapa luar biasa Rasulullah saw. dalam menepati janji. Sampai tiga hari ia berkorban perasaan menunggu di tempat yang disepakati.

Untuk menepati janji dibutuhkan kemauan yang kuat. Karena itu Nabi Adam as. ketika melanggar, Allah swt. menggambarkan ia lupa dan tidak mempunyai kemauan yang keras.(lihat QS. Thaha:15). Banyak para pedagang yang begitu mudah melanggar janji. Dan banyak para bos yang tidak menepati janji bagi karyawannya. Ingat bahwa setiap janji ada catatannya di sisi Allah swt. Maka siapapun yang melanggarnya tidak saja ia telah kehilangan kepercayaan dari mitranya melainkan juga dapat ancaman dari Allah swt.

Keenam, Tidak Transparan

Seorang pedagang yang baik ia pasti tidak mau membuat penbelinya rugi. Banyak para pembeli rugi karena sikap pedagang yang tidak transparan. Tidak transparan maksudnya tidak terus terang mengenai kualitas barang yang ia jual. Banyak barang yang secara kualitas di level dua misalnya, tetapi dipasaran dijual setara dengan level satu. Di antara keistimewaan ajaran Islam adalah al wuduuh (transparan). Tidak ada ajaran dalam Islam yang harus disembunyikan. Karena itu dalam dunia perdagangan seorang pedagang harus jelas apa yang ia jual. Banyak kejadian seorang penjual bakso misalnya yang biasanya menggunakan daging halal, diam-diam ia menggunakan daging haram, dengan tanpa memberitahukan secara terus terang kepada pembeli. Akibatnya setelah ketahuan, banyak pembeli yang mengutuknya. Banyak pembeli yang tidak percaya. Karena mereka merasa dirugikan, maka tidak ada lagi orang membeli lagi darinya.

Seorang pedagang sejati ia tahu apa yang ia jual. Dan ia tahu bahwa tidak ada seseorang yang mau dirugikan. Oleh karena itu harus memasang brand yang jelas, bukan yang remang-remang. Sebab setiap yang remang-remang adalah syuhbhat. Dan setiap yang syubhat bukan hanya hukumnya haram tetapi juga merugikan orang lain. Karena Nabi melarang bay’ul gharar (menjual barang yang tidak jelas). Seperti menjual buah-buahan yang masih belum muncul dipohonnya. Atau menjaul anak unta yang masih dalam kandungan ibunya dan lain sebagainya.

Ketujuh, Suka Menunda Pembayaran

Banyak perusahaan besar menunda pembayaran terhadap mitra usaha kecil. Akibatnya banyak mitra usaha kecil yang terseok-seok dan tidak sedikit yang gulung tikar karena tidak punya modal untuk menjalankannya. Tindakan seperti ini bukan hanya merugikan melainkan juga mematikan mitra usaha kecil. Ingat bahwa prinsip utama dalam bisnis menurut Islam adalah saling menghidupkan bukan saling membunuh. Allah swt. berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. AlMaidah:2).

Karena itu setiap usaha yang mematikan usaha lain sehingga menyebabkan banyak orang menderita, itu bukan cara yang Allah swt. ajarkan. Allah swt. tidak suka kepada orang-orang yang dzalim, dengan menunda pembayaran terhadap mitra usahanya, padahal ia mampu membayarnya. Rasulullah saw. menekankan pentingnya pembayaran upah sebelum keringat karyawan itu kering. Maka sungguh tidak Islami dan mempersulit orang lain, pedagang yang main menangnya sendiri. Barang dagangan mitra dijual sementara pembayarannya ditunda, sehingga sang mitra menderita. Ini namanya pedagang yang ingin menang sendiri di atas penderitaan orang lain. Cara-cara seperti ini jelas bukan hanya menyiksa mitra tetapi juga akan mencabut keberkahan bisnisnya. Ingat bahwa yang paling menentukan sukses sebuah bisnis bukan banyaknya keuntungan melainkan turunnya keberkahan. Banyak bisnisman yang mampu mengeruk keuntungan tetapi karena tidak ada keberkahan di dalamnya, semua keuntungan itu malah menyeretnya ke dalam kesengsaraan tanpa batas.

Kedelapan, Menjual Di Atas Harga Pasar

Setiap pembeli ingin membeli barang yang sesuai dengan harga umum di pasar. Pedagang yang suka menaikkan harga di atas harga pasar, pasti akan dijauhi pembeli. Ingat bahwa hidup matinya sebuah usaha tergantung kepuasan mitra. Di antara yang paling dicari oleh mitra atau pembeli adalah kualitas barang dengan harga yang standar. Ingat bahwa prinsip dibolehkannya jual beli dalam Islam adalah dalam rangka at ta’aawun (tolong menolong) bukan saling mempersulit. Menentukan harga barang di atas harga standar di pasar adalah tindakan mencekik pembeli. Itulah rahasia mengapa al ihtikaar (monopoli) dilarang. Sebab dengan monopoli seseorang yang dzalim bisa menaikkan harga seenaknya tanpa memperhatikan harga pasar. Baginya ketika seseorang butuh ia pasti membeli berapapun harganya. Beginya tak perduli orang-orang menderita yang penting untung sebanyak-banyaknya. Itulah juga sebabnya mengapa Nabi saw. melarang seseorang mencegat pedagang di tengah jalan sebelum masuk ke pasar, dengan tujuan untuk mendapatkan harga lebih rendah di bawah harga pasar. Jadi Islam melarang seseorang menaikkan harga di atas harga pasar atau mengambil dagangan di bawah harga pasar. Mengapa? Supaya fair, tidak ada yang dirugikan dan supaya dipahami bahwa tujuan berbisnis adalah untuk saling menyelamatkan kemanusiaan bukan untuk saling menjatuhkan.

Seorang pedagang yang kejam dengan mempermainkan harga di luar harga pasar jelas sangat dibenci oleh mitra atau pembeli. Dan bila anda seorang bisnisman lalu anda bertindak demikian, anda tidak akan sukses, karena bukan hanya masyarakat yang mengutuk anda melainkan Allah swt. dan seluruh penduduk langit malaknat anda.

Kesembilan, Menjual Barang Haram

Mitra yang baik dan beriman pasti tidak suka membeli barang-barang haram. Saya pernah bertemu dengan seseorang yang melarang saya untuk membeli makanan di sebuh toko. Saya tanya mengapa? Ia menjawab: Orang itu menjual daging babi. Benar sebuah toko yang menjual barang haram akan menjadi sasaran dibenci banyak orang. Lebih dari itu ia dibenci oleh Allah swt. Sebab dengan perbuatannya itu, ia telah tolong menolong dalam dosa. Allah melarang dengan tegas dalam firmannya: walaa ta’awanuu bil itsmi wal ‘udwaan (dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan).

Ayat ini menggandeng antara dosa dengan permusuhan, artinya bahwa setiap perbuatan dosa akan selalu mengantarkan kepada permusuhan. Karena itu tidak akan bahagia seseorang yang menjual barang-barang yang diharamkan Allah swt.

Kesepuluh, Terlalu Materialistis

Pandangan hidup materialistis cendrung menyebabkan banyak penyakit: (a) Kikir, banyak pedagang yang terlalu ketat materialistis, menjadi kikir dan tidak mau bersedekah dan bahkan tidak pernah membayar zakatnya. Sebab ia menganggap bahwa sedekah itu mengurangi total keuntungan yang ia dapatkan. Sudah pasti bahwa orang-orang kikir dibenci oleh mitra. (b) Kaku dan serba perhitungan yang bertele-tele. Akibatnya banyak mitra yang tersiksa setiap bekerja sama dengannya. Sudah pasti pedagang seperti ini akan dijauhi oleh mitranya. (c) Terlalu ngebet mengejar keuntungan, sehingga cendrung bertindak dzalim atau bahkan kadang-kadang menghalalkan cara-cara yang jelas haram. Akibatnya banyak pihak dari mitra yang dirugikan. Sudah pasti bahwa pedagang seperti ini akan menjadi musuh yang selalu mengancam mitra.

Allah swt. selalu menekankan dalam Al Qur’an pentingnya meningkatkan ketakwaan. Mengapa? Supaya manusia tidak menjadi mahluk yang semata materialistik. Bahwa manusia mempunyai dimensi ruhani. Bahwa kebahagiaan tidak mungkin dicapai semasih seseorang mengkotakkan dirinya dalam dinding meterialisme. Karena itu seorang pedagang haruslah benar-benar berjuang untuk menjadikan prinsip atata’aawun fil birri wat taqwaa sebagai tujuan hidupnya. Dengan prinsip ini perniagaannya bukan beruntung melainkan lebih dari itu ia akan berkah.

Kesebelas, Monopoli

Monopoli adalah tindakan ingin untung sendiri dalam dunia bisnis. Tidak perduli orang lain menderita. Rasulullah saw. mengancam orang-orang yang monopoli dengan ancaman yang sangat mengerikan. Bahwa orang melakukan tindak monopoli dalam perdagangannya ia telah memutuskan hubungan dengan Allah swt. dan Allah swt. memutuskan hubungan dengannya. Ini menunjukkan bahwa Allah swt. tidak suka manusia yang hanya ingin kaya sendiri, atau menang sendiri. Allah swt. mengajarkan agar manusia saling tolong menolong. Bahwa bukan ajaran Islam setiap cara-cara bisnis yang membuat orang lain tercekik. Karenanya riba diharamkan, karena ia pasti akan mencekik mereka yang lemah. Begitu juga monopoli diharamkan karena ia pasti mencekik banyak mitra yang tidak punya modal dan bahkan mencekik para pembeli yang berekonomi lemah.

Pokoknya, bahwa setiap tindakan mempersulit orang lain, Islam pasti melarangnya. Termasuk dalam urusan bisnis dan jual beli. Itulah rahasia mengapa riba, monopoli dan bentuk-bentuk praktek yang semisalnya diharamkan. Itu tidak lain karena mencekik dan mempersulit orang lain.

Keduabelas, Tidak Manusiawi

Benar, Allah swt. menghalalkan juali beli, tetapi bukan untuk maksud memeras orang lain. Dalam Al Qur’an Allah swt. sangat menjunjung tinggi manusia dan kemanusiaan. Segala tindakan yang menyengsarakan manusia sangat di haramkan. Seorang pedagang yang kejam, dan hanya mementingkan keuntungan materi semata, tanpa melihat kemanusiaan, pasti sangat dibenci.

Saya pernah melihat bagaimana orang-orang menjauhi seorang pengusaha yang kejam. Ia suka mengambil barang dari orang lain dengan harga yang sangat murah, lalu menjual kepada orang lain dengan harga yang sangat mahal di luar kemapuan rata-rata. Saya benar-benar menyaksikan bahwa tidak sedikit orang yang menderita kerena perilaku pedagang yang kejam dan tidak manusiawi. Ingat bahwa tujuan berbisnis bukan semata mengeruk keuntungan, melainkan lebih dari itu untuk saling meringankan dan besinergi. Ingat bahwa seorang pengusaha, tidak bisa berdiri sendiri, melainkan ia juga tergantung kapada orang lain. Ada sebuah prinsip menarik dalam dunia bisnis dan telah membuat banyak orang mencapai sukses: “Tidak apa-apa keuntungan sedikit tetapi terus menerus.” Ini sungguh lebih baik dari pada keuntungan banyak dengan cara mencekik tetapi hanya sekali setelah itu usahanya mati dan tidak berlanjut lagi.

Ketigabelas, Bermain Sogok

Sogok menyogok adalah penyakit sosial yang sangat merugikan. Karena itu Allah swt. melaknat segala bentuk sogok menyogok. Rasululah saw. bersabda: la’natullahi alar raasyi wal murtasyii (Allah melaknat orang-orang yang menyogok dan yang diberi sogok). Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin berkah hidup pengusaha yang suka bermain sogok, hanya untuk memudahkan jalan bisnisnya. Di antara rahasia mengapa Allah melaknat mereka: Pertama, karena permainan sogok akan mempersulit jalan bisnis orang lain yang bersih dan menjauhi sogok menyogok. Tidak sedikit penguasaha yang gulung tikar, usahanya dipersulit karena tidak mau membayar sogok yang jumlahnya tidak sedikit. Kedua, bahwa sogok menyogok bukan jalan untuk mendapatkan penghasilan, melainkan benalu yang dipaksakan dalam dunia bisnis. Akibatnya banyak para pedagang yang terpaksa menaikkan harga barang karena harus menutupi uang sogok yang dibayarkan. Perhatikan betapa sogok dampaknya bukan harus ditanggung oleh sang pengusaha saja, melainkan harus juga ditanggung oleh masayarakat secara luas.

Jika demikian, maka tidak mustahil dari kebiasaan sogok menyogok akan menyebar kerusakan multi dimensional dalam kahidupan sosial. Suatu contoh misalnya, dimudahkannya penjualan barang haram dan praktek-praktek haram yang merusak moral masyarakat, karena menggunakan pelicin yang disebut sogok. Perhatikan bila apa saja bisa diperdagangkan asal membayar sogok, tentu yang paling pertama kali akan menjadi korban adalah kemanusiaan. Karenanya Allah swt. dan Rasul-Nya sangat mengutuk praktek sogok menyogok tidak hanya dalam dunis bisnis saja melainkan dalam lapangan kehidupan yang lain. Allahu a’lam



http://www.dakwatuna.com/

Batasan Keuntungan dalam Syariah

Batasan Tingkat Keuntungan dalam Syariah dan Kebijakan Pricing Pemerintah

Ekonomi Syari'ah

19/10/2009 | 29 Syawal 1430 H | Hits: 1.494

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo



dakwatuna.com – Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’, bahkan secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik, misalnya anak-anak yatim (lihat QS. An-Nisa’:29, Al-Baqarah: 194, 275, 282, An-Nur:37, Al-Jum’ah:10, Al-Muzzammil:20, Quraisy:1-3)

Dan, tak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %, 50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Hal itu berdasarkan dalil berikut:

Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Ja’d al-Bariqi ra.

Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: “Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.”

Dan meraih keuntungan lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan oleh Zubeir bin ‘Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah ‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor hadits 3129).

Namun begitu, Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya (II/72) menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qana’ah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit maka niscaya akan meningkat volume penjualannya. Selain itu dengan meningkatnya volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan menimbulkan berkah.

Pantas kalau Ali ra. pernah berkeliling menginspeksi pasar Kufah dengan membawa tongkat pemukul seraya berkata, “Wahai segenap pedagang, ambillah yang benar, niscaya kamu selamat. Jangan kamu tolak keuntungan yang sedikit, karena dengan menolaknya kamu akan terhalang untuk mendapatkan yang banyak.”

Abdurrahman bin Auf pernah ditanya orang, “apakah yang menyebabkan engkau kaya?” Dia menjawab, “karena tiga perkara: aku tidak pernah menolak keuntungan sama sekali. Tiada orang yang memesan binatang kepadaku, lalu aku lambatkan menjualnya, dan aku tidak pernah menjual dengan sistem kredit berbunga.” Contoh kasusnya, Abdurrahman bin Auf pernah menjual 1000 ekor unta, tetapi ia tidak mengambil keuntungan melainkan hanya dari tali kendalinya. Lalu dijualnya setiap helai tali itu dengan harga 1 dirham, dengan demikian ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham. Dan dari penjualan itu ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham dalam sehari.

Itulah cermin orang mempraktekkan sabda Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah merahmati orang yang toleran (gampang) ketika menjual, toleran ketika membeli, toleran ketika menunaikan kewajiban dan toleran ketika menuntut hak.” (HR. Bukhari dari Jabir).

Adapun keuntungan yang diharamkan Islam adalah keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram di antaranya sebagai berikut:

1. Keuntungan dari Bisnis Barang dan Jasa Haram.

Yang tergolong bisnis haram adalah seperti bisnis minuman keras, narkoba (NAZA), jasa kemaksiatan, perjudian, rentenir dan praktik riba, makanan dan minuman merusak, benda-benda yang membahayakan rohani dan jasmani. Di antara hadits yang melarang melakukan bisnis barang dan jasa haram serta memanfaatkan hasil keuntungannya adalah hadits riwayat Jabir ra, Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan patung”. (HR. Jama’ah, lihat al-Albani dalam Irwa’ Gholil, 1290). Dalam riwayat Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi. Diharamkan lemak atas mereka, kemudian mereka menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualannya). Sesungguhnya bila Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan-Nya pula harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, 5107) Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini sebagai hujjah (dalil) pengharaman jual beli minyak najis.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas. Ra, ia berkata: “Nabi saw, melarang harga (jual beli) anjing seraya bersabda:”Jika seseorang datang kepadamu meminta pembayaran harga anjing, maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw, bersabda: “Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pembuatnya, pemesan produknya, pembawanya, orang yang dibawakan khamar kepadanya dan pemakan keuntungannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, Lihat, al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa, II/321)

2. Keuntungan dari Jalan Curang dan Manipulasi.

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mencurangi kami maka bukanlah dari golongan kami.” (HR. al-Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i) “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

3. Manipulasi dengan cara Merahasiakan Harga Aktual.

Rasulullah saw. telah melarang Talaqqi Rukban yakni menghadang kafilah dagang di tengah jalan dan membeli barang-barangnya dengan berbohong mengenai harga aktual dan beliau juga melarang permainan bisnis Najasy (Insider Trading) yakni cara bisnis menaikkan penawaran harga dengan permainan orang dalam. (Pelarangan itu terdapat pada riwayat hadits Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah, Lihat al-Ghozali dalam Ihya’ II/72)

4. Keuntungan dengan Cara Menimbun dan Usaha Spekulatif.

Nabi saw. bersabda: “Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat dosa.” (HR. Muslim) “Barangsiapa yang menimbun bahan makanan selama empat puluh hari maka sungguh ia berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya.” (HR. Ahmad dan Hakim). Sedangkan yang dimaksud dengan praktik menimbun (ihtikar) di sini ialah menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).

Dari uraian di atas jelas bahwa diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan margin keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.

Di Madinah pernah terjadi kasus monopoli dan spekulasi bahan pokok yang menjadi hajat umum masyarakat oleh para pemilik unta. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw sebagai penguasa, akhirnya melarang masyarakat membelinya dari mereka sampai bahan pangan itu dijual bebas di pasaran. (HR. Bukhari)

Tapi pada kondisi terjadi kenaikan harga secara objektif, wajar dan legal yang lazim disebut kenaikan harga aktual riil yang sebenarnya yang diakibatkan di antaranya oleh faktor bertambahnya persediaan uang, berkurangnya produktivitas, bertambahnya kemajuan aktivitas, dan berbagai pertimbangan fiskal dan moneter, pemerintah tidak berhak untuk mencampuri mekanisme pasar yang alamiyah tersebut. Pertimbangan inilah yang mendasari sikap Nabi saw sebagai penguasa menolak untuk mematok harga ketika terjadi lonjakan harga di pasar Madinah seraya mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, yang menahan dan meluaskan rezki, yang Maha Pemberi rezki. Dan saya sangat mengharapkan dapat berjumpa Rabbku, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena suatu tindakan aniaya pada fisik dan harta” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi). Wallahu a’lam.



http://www.dakwatuna.com/

Sabtu, 18 Desember 2010

Si belang, si botak dan si buta yang di uji olah Allah Swt

dakwatuna.com - Zaman dahulu kala, ada tiga orang Bani Israil. Orang yang pertama berkulit belang (sopak), yang kedua berkepala botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji ketiga orang tersebut. Maka Dia mengutus kepada mereka satu malaikat.

Malaikat mendatangi orang yang berpenyakit sopak (Si Belang) dan bertanya kepadanya, “Sesuatu apakah yang engkau minta?”

Si Belang menjawab, “Warna yang bagus dan kulit yang bagus serta hilangnya dari diri saya sesuatu yang membuat orang-orang jijik kepada saya.”

Lalu malaikat itu mengusapnya dan seketika itu hilanglah penyakitnya yang menjijikkan itu. Kini ia memiliki warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”

Orang itu menjawab, “Onta.”

Akhirnya orang itu diberikan seekor onta yang bunting seraya didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberi berkah untukmu dalam onta ini.”

Kemudian malaikat mendatangi si Botak dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”

Si Botak menjawab, “Rambut yang indah dan hilangnya dari diri saya penyakit yang karenanya aku dijauhi oleh manusia.”

Malaikat lalu mengusapnya, hingga hilanglah penyakitnya dan dia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, “Harta apa yang paling engkau sukai?”

Orang itu menjawab, “Sapi.”

Akhirnya si Botak diberikan seekor sapi yang bunting dan didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberkahinya untukmu.”

Selanjutnya malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, “Apa yang paling engkau sukai?”

Si Buta menjawab, “Allah mengembalikan kepada saya mata saya agar saya bisa melihat manusia.”

Malaikat lalu mengusapnya hingga Allah mengembalikan pandangannya. Si Buta bisa melihat lagi. Setelah itu malaikat bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”

Orang itu menjawab, “Kambing.”

Akhirnya diberilah seekor kambing yang bunting kepadanya sambil malaikat mendoakannya.

Singkat cerita, dari hewan yang dimiliki ketiga orang itu beranak dan berkembang biak. Yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.

Kemudian sang malaikat – dengan wujud berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Belang. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin telah terputus bagiku semua sebab dalam safarku, maka kini tidak ada bekal bagiku kecuali pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda demi (Allah) Yang telah memberi Anda warna yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, satu ekor onta saja yang bisa menghantarkan saya dalam safar saya ini.”

Orang yang tadinya belang itu menanggapi, “Hak-hak orang masih banyak.”

Lalu malaikat bertanya kepadanya, “Sepertinya saya mengenal Anda. Bukankah Anda dulu berkulit belang yang dijauhi oleh orang-orang dan juga fakir, kemudian Anda diberi oleh Allah?”

Orang itu menjawab, “Sesungguhnya harta ini saya warisi dari orang-orang tuaku.”

Maka malaikat berkata kepadanya, “Jika kamu dusta, maka Allah akan mengembalikanmu pada keadaan semula.”

Lalu, dengan rupa dan penampilan sebagai orang miskin, malaikat mendatangi mantan si Botak. Malaikat berkata kepada orang ini seperti yang dia katakan kepada si Belang sebelumnya. Ternyata tanggapan si Botak sama persis dengan si Belang. Maka malaikat pun menanggapinya, “Jika kamu berdusta, Allah pasti mengembalikanmu kepada keadaan semula.”

Lalu malaikat – dengan rupa dan penampilan berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Buta. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin dan Ibn Sabil yang telah kehabisan bekal dan usaha dalam perjalanan, maka hari ini tidak ada lagi bekal yang menghantarkan aku ke tujuan kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda, demi Allah yang mengembalikan pandangan Anda, satu ekor kambing saja supaya saya bisa meneruskan perjalanan saya.”

Maka si Buta menanggapinya, “Saya dulu buta lalu Allah mengembalikan pandangan saya. Maka ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkanlah apa yang kamu suka. Demi Allah aku tidak keberatan kepada kamu dengan apa yang kamu ambil karena Allah.”

Lalu malaikat berkata kepadanya, “Jagalah harta kekayaanmu. Sebenarnya kamu (hanyalah) diuji. Dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua sahabatmu.”

***

Demikianlah kisah ini, Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya, dan kita pun senantiasa diuji oleh-Nya. Dalam kisah tadi, ada dua hal yang menjadi bahan ujian, yaitu kesehatan, penampilan fisik, dan harta. Mudah-mudahan kita adalah yang orang yang lulus ujian sebagaimana si Buta. Jika kita ingin seperti si Buta, maka kita harus berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur dan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah (muraqabatullah).

Semoga Allah senantiasa ridha dan tidak murka kepada kita semua.. Aamiin.

Maraji’: Hadits Riwayat Bukhari – Muslim

(hudzaifah/hdn)

Kamis, 02 Desember 2010

Pandangan Islam tentang Keseimbangan dalam Bisnis

Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itu sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada kitab Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat lebih dari seperlima ayat-ayat al-Quran. Jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) Kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme.

Islam memandang dunia ini bukan sebagai sesuatu yang hina dan harus dihindari, tapi Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bisa manfaatkan dunia ini dengan baik sebagai bekal menuju kehidupan kekal (al-dunya mazra’at al-akhirah). Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber rujukan utama umat Islam banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap terbaik yang harus dilakukan dalam kehidupan dunia ini. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk menjadi pengemis, pemalas, miskin atau perbuatan hina semacamnya. Islam menekankan agar menjadi orang yang memberi, bukan yang meminta; membayar zakat, bukan yang menerima zakat; memberi infak (sedekah), bukan yang menerima infak/sedekah; dermawan, bukan kikir; berlapang, bukan yang sempit; berbuat adil bukan yang menderita; melepaskan perbudakan, bukan untuk menjadi budak dan lain sebagainya. Namun untuk melakukan itu semua tentu harus memiliki harta yang lebih dari cukup (al-yad al-’ulya), bukan orang-orang yang miskin (al-yad al-supla).

Memang ada hadist yang memberikan legitimasi, bahwa umat Islam tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, seperti hadits al dunya sijn al mu’minin wa jannat al kafirin. Kebenaran hadits ini perlu dikritisi. Sebab maknanya bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya. Karena itu, hadits ini harus kita tinggalkan agar tidak disalah pahami. Ada juga hadist lain, yaitu ”Ya Allah, hidupkanlah saya miskin, matikanlah saya miskin, matikanlah saya miskin dan bangkitkanlah saya dalam golongan miskin” (allahumma ahyini miskinan wa amitni miskinan wa uhsyurni fi zumrat al masakin). Meskipun hadits ini dianggap shahih, namun jika dimaknai secara harfiah, akan bertentangan dengan fakta sejarah tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak miskin atau serba kekurangan harta. Dalam catatan sejarah, makanan beliau, kendaraan beliau, pakaian beliau tergolong kelas atas. Hadits ini juga bertentangan dengan doa Nabi Muhammad SAW yang lainnya, ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan-Mu dari kekufuran dan kefakiran” (allahumma inni a’udzubika min al kufr wa al faqr).

Selain memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan usaha (bisnis), Islam juga memberikan beberapa prinsip dasar yang menjadi etika normatif yang harus dita’ati ketika seorang muslim akan dan sedang menjalankan usaha. Beberapa prisnsip di bawah inilah yang akan sangat jelas membedakan antara prinsip ekonomi islam dengan prinsip kapitalisme dan sosialisme.

Pertama, proses mencari rizki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah Saw bahwa ”Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, disamping tugas-tugas lain yang diwajibkan” (HR Al Baihaki). Dalam kaidah ushul fiqh definisi wajib adalah ”huwa ma yusabu ala filihi wayu’aqobu ala tarkihi” artinya sesuatu yang akan menjadikan berdosa ketika kita dengan sengaja tidak melakukannya. Dalam surat At taubah ayat 105 ”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu”.

Kedua, rizki yang kita cari haruslah rizki yang halal. ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al Baqarah ayat 275). Dengan sangat tegas nabi Muhammad Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir, pernah bersabda, ”Daging yang tumbuh dari suatu yang haram tidak akan masuk surga, sedangkan neraka lebih sesuai bagi semua daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram”.

Ketiga, disamping itu kejujuran dalam menjalankan usaha menjadi suatu keharusan. Abu Sa’ad meriwayatkan bahwa Rosulullah Saw berkata , ”Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada” (HR Tirmidzi). Sehingga segala bentuk ketidak adilan dan ketidak jujuran dalam bisnis sangat tidak bisa ditolelir (diharamkan) oleh ajaran Islam.

Keempat, semua proses yang dilakukan dalam rangka mencari rizki, haruslah dijadikan sebagai sebuah sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ridho Allah merupakan tujuan utama dari aktifitas bisnis kita. Dengan prinsip ini, Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa keuntungan berupa materi (harta dan kekayaan) bukan menjadi target utama dari usaha/pekerjaan yang kita jalankan. Keutungan berupa materi hanya salah satu dari karunia yang akan Allah berikan. ”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS Al Jumu’ah ayat 10).

Kelima, bisnis yang akan dan sedang dijalankan jangan sampai menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan hidup. Aspek kesinambungan dan keselarasan dengan alam menjadi suatu keharusan. Islam memberikan keistimewaan bagi manusia untuk menjadi khalifah di alam dunia ini. Sehingga sebagai khalifah yang amanah kita harus bisa mengatur kehidupan ini agar bisa lebih berkeadilan tidak hanya untuk manusia tapi juga terhadap semua makhluk Allah yang lainnya termasuk terhadap lingkungan. Harus ada perubahan paradigma bahwa seluruh kekeyaan alam ini bukan merupakan warisan dari nenek moyang kita, yang bisa dengan bebas kita pergunakan atau bahkan dihabiskan dengan seenaknya, tapi kekeyaan alam ini merupakan titipan dari anak cucu kita. Dengan kerangka fikir seperti ini maka kita dituntut untuk lebih arif dan bijaksana dalam mengelolanya karena suatu saat titipan tersebut harus dikembalikan kepada yang punyanya. Masih ada anak cucu kita yang akan meneruskan kehidupan di muka bumi ini.

Keenam, persaingan dalam bisnis bukan menjadi perso’alan yang tabu, tapi justru persaingan dijadikan sebagai sarana untuk bisa berprestasi secara fair dan sehat (fastabikul al khayrat). Kalau Allah tidak menghendaki adanya persaingan, maka tentu Allah tidak akan menciptakan kita dalam beragam kultur, etnis dan budaya yang berbeda. Adanya persaingan justru harus bisa memacu umat Islam untuk menjadi umat yang terbaik (khairu ummat). Saingan atau lawan dalam dunia bisnis bisa dijadikan sebagai partner bagi kita untuk memicu dan mendorong kita agar menjadi manusia-manusia yang kreatif yang terus berinovasi untuk mengeluarkan produk-produk baru.

Ketujuh, dalam menjalankan bisnis kita tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Islam mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai dan selalu haus akan adanya penemuan-penemuan baru. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Alam Nasyrah ayat 7 ”Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”.

Kedelapan, menyerahkan setiap amanah kepada ahlinya, bukan kepada sembarang orang, sekalipun keluarga sendiri. Rosulullah Saw berkata, ”Jika suatu urusan diserahkan kepada (orang) yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya”. Dari hadist ini menunjukan harus adanya prinsip profesionalisme kerja dalam Islam. Dalam surat An Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyerahkan amanat kepada ahlinya dan jika kamu memutuskan suatu perkaran diantara manusia, hendaknya kamu putuskan dengan adil”.

Ketika dalam perjalanan usahanya membawa keuntungan berupa materi (sukses) maka dengan sangat indah Islam juga memberikan beberapa tuntunan.

Pertama, keuntungan yang kita dapatkan tidak semata-mata karena hasil kerja keras kita saja, namun kesemuanya itu tidak terlepas dari adanya bentuk pertolongan yang sudah diberikan Allah SWT kepada kita. Bagi setiap pengusaha muslim yang sukses dalam bisnisnya tidak diperbolehkan untuk merasa sombong dengan hasil yang sudah diperolehnya itu. Seorang muslim harus bersyukur kepada Allah SWT atas rizki yang telah dia dapatkan tersebut. Bahkan Allah SWT berjanji dalam surat Ibrahim ayat 7 ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepada kamu. Dan jika kamu mengingkari nikmatku, maka sesungguhnya azabku sangat pedih”. Menurut Imam Al Ghazali, ketika kita bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT maka Allah akan memberikan dua manfa’at ; 1) Ketika kita bersyukur, maka keuntungan yang telah didapatkan akan diikat oleh Allah SWT, rizki yang telah kita dapatkan tidak akan pergi dari kita. 2) Ketika kita bersyukur, maka Allah SWT akan terus melipatgandakan keuntungan yang telah kita dapatkan tersebut.

Kedua, dalam setiap keuntungan yang kita dapatkan, terdapat hak-hak orang lain. ”Sesungguhnya pada hartamu ada bagian untuk orang lain” (Q.S. Adz-Dzaariyat: 19). Caranya bisa dalam bentuk mengeluarkan zakat, infak atau sodaqoh. Dalam hal ini Islam mencoba mengajarkan kepada pemeluknya bahwa ketika suskes jangan lupa untuk bisa berbagi dengan orang lain yang mungkin nasibnya tidak seberuntung kita. Sehingga rasa kekeluargaan dan kebersamaan antar anggota masyarakat bisa terus terjalin dengan baik. Ada sebuah pameo dalam bahasa inggris yang sangat sesuai dengan konsep anjuran dan keutama’an dari bersedekah bahwa ”if you give one, you will get more” jika kita memberi satu maka kita akan mendapatkan lebih dari apa yang telah kita keluarkan.

Ketiga, suksesnya bisnis kita pasti juga ditunjang oleh hasil kerja keras sebuah tim/karyawan. Praktek-praktek eksploitasi dan kesewenang-wenangan pemilik bisnis terhadap karyawan dengan melakukan jam kerja yang tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, PHK yang sepihak, jaminan kesehatan yang minim sampai kepada tidak adanya jaminan kepatian kerja sangat dijauhi oleh Islam. Islam justru sangat menekankan pentingnya untuk berterimaksih kepada mereka. Dalam salah satu hadistnya, ”Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk membayarkan upah kepada karyawan, sebelum keringat mereka mengering”.



by : MUHAMMAD ASEP ZAELANI, Mantan Santri Karya Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung



( Sekedar pencerahan, tak maksud menggurui karena kita saya pun sedang belajar)