Kamis, 02 Desember 2010

Pandangan Islam tentang Keseimbangan dalam Bisnis

Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itu sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada kitab Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat lebih dari seperlima ayat-ayat al-Quran. Jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) Kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme.

Islam memandang dunia ini bukan sebagai sesuatu yang hina dan harus dihindari, tapi Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bisa manfaatkan dunia ini dengan baik sebagai bekal menuju kehidupan kekal (al-dunya mazra’at al-akhirah). Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber rujukan utama umat Islam banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap terbaik yang harus dilakukan dalam kehidupan dunia ini. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk menjadi pengemis, pemalas, miskin atau perbuatan hina semacamnya. Islam menekankan agar menjadi orang yang memberi, bukan yang meminta; membayar zakat, bukan yang menerima zakat; memberi infak (sedekah), bukan yang menerima infak/sedekah; dermawan, bukan kikir; berlapang, bukan yang sempit; berbuat adil bukan yang menderita; melepaskan perbudakan, bukan untuk menjadi budak dan lain sebagainya. Namun untuk melakukan itu semua tentu harus memiliki harta yang lebih dari cukup (al-yad al-’ulya), bukan orang-orang yang miskin (al-yad al-supla).

Memang ada hadist yang memberikan legitimasi, bahwa umat Islam tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, seperti hadits al dunya sijn al mu’minin wa jannat al kafirin. Kebenaran hadits ini perlu dikritisi. Sebab maknanya bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya. Karena itu, hadits ini harus kita tinggalkan agar tidak disalah pahami. Ada juga hadist lain, yaitu ”Ya Allah, hidupkanlah saya miskin, matikanlah saya miskin, matikanlah saya miskin dan bangkitkanlah saya dalam golongan miskin” (allahumma ahyini miskinan wa amitni miskinan wa uhsyurni fi zumrat al masakin). Meskipun hadits ini dianggap shahih, namun jika dimaknai secara harfiah, akan bertentangan dengan fakta sejarah tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak miskin atau serba kekurangan harta. Dalam catatan sejarah, makanan beliau, kendaraan beliau, pakaian beliau tergolong kelas atas. Hadits ini juga bertentangan dengan doa Nabi Muhammad SAW yang lainnya, ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan-Mu dari kekufuran dan kefakiran” (allahumma inni a’udzubika min al kufr wa al faqr).

Selain memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan usaha (bisnis), Islam juga memberikan beberapa prinsip dasar yang menjadi etika normatif yang harus dita’ati ketika seorang muslim akan dan sedang menjalankan usaha. Beberapa prisnsip di bawah inilah yang akan sangat jelas membedakan antara prinsip ekonomi islam dengan prinsip kapitalisme dan sosialisme.

Pertama, proses mencari rizki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah Saw bahwa ”Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, disamping tugas-tugas lain yang diwajibkan” (HR Al Baihaki). Dalam kaidah ushul fiqh definisi wajib adalah ”huwa ma yusabu ala filihi wayu’aqobu ala tarkihi” artinya sesuatu yang akan menjadikan berdosa ketika kita dengan sengaja tidak melakukannya. Dalam surat At taubah ayat 105 ”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu”.

Kedua, rizki yang kita cari haruslah rizki yang halal. ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al Baqarah ayat 275). Dengan sangat tegas nabi Muhammad Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir, pernah bersabda, ”Daging yang tumbuh dari suatu yang haram tidak akan masuk surga, sedangkan neraka lebih sesuai bagi semua daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram”.

Ketiga, disamping itu kejujuran dalam menjalankan usaha menjadi suatu keharusan. Abu Sa’ad meriwayatkan bahwa Rosulullah Saw berkata , ”Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada” (HR Tirmidzi). Sehingga segala bentuk ketidak adilan dan ketidak jujuran dalam bisnis sangat tidak bisa ditolelir (diharamkan) oleh ajaran Islam.

Keempat, semua proses yang dilakukan dalam rangka mencari rizki, haruslah dijadikan sebagai sebuah sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ridho Allah merupakan tujuan utama dari aktifitas bisnis kita. Dengan prinsip ini, Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa keuntungan berupa materi (harta dan kekayaan) bukan menjadi target utama dari usaha/pekerjaan yang kita jalankan. Keutungan berupa materi hanya salah satu dari karunia yang akan Allah berikan. ”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS Al Jumu’ah ayat 10).

Kelima, bisnis yang akan dan sedang dijalankan jangan sampai menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan hidup. Aspek kesinambungan dan keselarasan dengan alam menjadi suatu keharusan. Islam memberikan keistimewaan bagi manusia untuk menjadi khalifah di alam dunia ini. Sehingga sebagai khalifah yang amanah kita harus bisa mengatur kehidupan ini agar bisa lebih berkeadilan tidak hanya untuk manusia tapi juga terhadap semua makhluk Allah yang lainnya termasuk terhadap lingkungan. Harus ada perubahan paradigma bahwa seluruh kekeyaan alam ini bukan merupakan warisan dari nenek moyang kita, yang bisa dengan bebas kita pergunakan atau bahkan dihabiskan dengan seenaknya, tapi kekeyaan alam ini merupakan titipan dari anak cucu kita. Dengan kerangka fikir seperti ini maka kita dituntut untuk lebih arif dan bijaksana dalam mengelolanya karena suatu saat titipan tersebut harus dikembalikan kepada yang punyanya. Masih ada anak cucu kita yang akan meneruskan kehidupan di muka bumi ini.

Keenam, persaingan dalam bisnis bukan menjadi perso’alan yang tabu, tapi justru persaingan dijadikan sebagai sarana untuk bisa berprestasi secara fair dan sehat (fastabikul al khayrat). Kalau Allah tidak menghendaki adanya persaingan, maka tentu Allah tidak akan menciptakan kita dalam beragam kultur, etnis dan budaya yang berbeda. Adanya persaingan justru harus bisa memacu umat Islam untuk menjadi umat yang terbaik (khairu ummat). Saingan atau lawan dalam dunia bisnis bisa dijadikan sebagai partner bagi kita untuk memicu dan mendorong kita agar menjadi manusia-manusia yang kreatif yang terus berinovasi untuk mengeluarkan produk-produk baru.

Ketujuh, dalam menjalankan bisnis kita tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Islam mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai dan selalu haus akan adanya penemuan-penemuan baru. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Alam Nasyrah ayat 7 ”Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”.

Kedelapan, menyerahkan setiap amanah kepada ahlinya, bukan kepada sembarang orang, sekalipun keluarga sendiri. Rosulullah Saw berkata, ”Jika suatu urusan diserahkan kepada (orang) yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya”. Dari hadist ini menunjukan harus adanya prinsip profesionalisme kerja dalam Islam. Dalam surat An Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyerahkan amanat kepada ahlinya dan jika kamu memutuskan suatu perkaran diantara manusia, hendaknya kamu putuskan dengan adil”.

Ketika dalam perjalanan usahanya membawa keuntungan berupa materi (sukses) maka dengan sangat indah Islam juga memberikan beberapa tuntunan.

Pertama, keuntungan yang kita dapatkan tidak semata-mata karena hasil kerja keras kita saja, namun kesemuanya itu tidak terlepas dari adanya bentuk pertolongan yang sudah diberikan Allah SWT kepada kita. Bagi setiap pengusaha muslim yang sukses dalam bisnisnya tidak diperbolehkan untuk merasa sombong dengan hasil yang sudah diperolehnya itu. Seorang muslim harus bersyukur kepada Allah SWT atas rizki yang telah dia dapatkan tersebut. Bahkan Allah SWT berjanji dalam surat Ibrahim ayat 7 ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepada kamu. Dan jika kamu mengingkari nikmatku, maka sesungguhnya azabku sangat pedih”. Menurut Imam Al Ghazali, ketika kita bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT maka Allah akan memberikan dua manfa’at ; 1) Ketika kita bersyukur, maka keuntungan yang telah didapatkan akan diikat oleh Allah SWT, rizki yang telah kita dapatkan tidak akan pergi dari kita. 2) Ketika kita bersyukur, maka Allah SWT akan terus melipatgandakan keuntungan yang telah kita dapatkan tersebut.

Kedua, dalam setiap keuntungan yang kita dapatkan, terdapat hak-hak orang lain. ”Sesungguhnya pada hartamu ada bagian untuk orang lain” (Q.S. Adz-Dzaariyat: 19). Caranya bisa dalam bentuk mengeluarkan zakat, infak atau sodaqoh. Dalam hal ini Islam mencoba mengajarkan kepada pemeluknya bahwa ketika suskes jangan lupa untuk bisa berbagi dengan orang lain yang mungkin nasibnya tidak seberuntung kita. Sehingga rasa kekeluargaan dan kebersamaan antar anggota masyarakat bisa terus terjalin dengan baik. Ada sebuah pameo dalam bahasa inggris yang sangat sesuai dengan konsep anjuran dan keutama’an dari bersedekah bahwa ”if you give one, you will get more” jika kita memberi satu maka kita akan mendapatkan lebih dari apa yang telah kita keluarkan.

Ketiga, suksesnya bisnis kita pasti juga ditunjang oleh hasil kerja keras sebuah tim/karyawan. Praktek-praktek eksploitasi dan kesewenang-wenangan pemilik bisnis terhadap karyawan dengan melakukan jam kerja yang tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, PHK yang sepihak, jaminan kesehatan yang minim sampai kepada tidak adanya jaminan kepatian kerja sangat dijauhi oleh Islam. Islam justru sangat menekankan pentingnya untuk berterimaksih kepada mereka. Dalam salah satu hadistnya, ”Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk membayarkan upah kepada karyawan, sebelum keringat mereka mengering”.



by : MUHAMMAD ASEP ZAELANI, Mantan Santri Karya Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung



( Sekedar pencerahan, tak maksud menggurui karena kita saya pun sedang belajar)